Jumat, 16 Agustus 2019

Jurnal : Pra Rancangan Pabrik Asam Sulfat Dari Sulfur, Udara Dan Air Dengan Proses DOUBLE CONTACT PROCESS Dengan Kapasitas 300.000 Ton/Tahun

Pra Rancangan Pabrik Asam Sulfat Dari Sulfur, Udara Dan Air Dengan Proses DOUBLE CONTACT PROCESS Dengan Kapasitas 300.000 Ton/Tahun

Abstrak
Jurnal ini membahas tentang proses pembuatan asam sulfat dari sulfur udara dan oksigen dengan proses double contact kapasitas 300.000 ton/tahun. Produksi asam sulfat memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan, karena bahan baku yang digunakan sangat mudah didapat dan murah. Keunggulan dari proses ini adalah kemurnian produk yang dihasilkan sebesar 99,5%. Dari hasil analisi ekonomi, Percent Return Of Investment (ROI) 15%, Pay Out Time (POT) 4,2 Tahun, Break Even Point (BEP) 43,06 %. Ditinjau dari segi ekonomi, pabrik asam sulfat dengan kapasitas 300.000 ton/tahun ini layak untuk didirikan.

Abstract
This journal discusses the process of making sulfuric acid from air sulfur and oxygen with a double contact process with a capacity of 300,000 tons / year. The production of sulfuric acid has a good prospect to be developed, because the raw materials used are very easy to obtain and inexpensive. The advantage of this process is that the purity of the product is 99.5%. From the results of economic analysis, Percent Return of Investment (ROI) is 15%, Pay Out Time (POT) is 4.2 years, Break Even Point (BEP) is 43.06%. In terms of the economy, this sulfuric acid plant with a capacity of 300,000 tons / year is feasible to be established.
sulfuric acid
  
 1.   Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Pendirian Pabrik
Asam Sulfat merupakan salah satu bahan kimia yang penting dan dibutuhkan di sebagian besar dunia industri. Terutama pada industri pupuk Ammonium sulfat yang bahan bakunya merupakan ammonia dan Asam sulfat (Mangundap, 2013). Selain itu Asam sulfat juga dibutuhkan oleh banyak industri lainnya seperti industri Natrium sulfat, industri Alumunium sulfat, industri Natrium bisulfit dan industri Dimetil sulfat.
Adapun industri logam membutuhkan Asam sulfat untuk proses pickling yaitu proses untuk menghilangkan karat yang melekat pada permukaan logam. Seiring bertambahnya kebutuhan akan produk-produk tersebut maka kebutuhan Asam sulfat juga ikut meningkat. Meskipun di Indonesia sudah ada industri yang memproduksi Asam sulfat dengan total produksi ± 1 juta ton/tahun, akan tetapi belum dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri, sehingga Indonesia masih membutuhkan Asam sulfat dari luar negeri.
Pada umumnya sebagian industri yang membutuhkan Asam sulfat, memiliki unit untuk pengolahan Asam sulfat sendiri, agar mengurangi biaya pembelian bahan baku. Oleh karena itu pabrik ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan Asam sulfat dalam negeri, khususnya industri logam.
98% H2so4 Asam Sulfat Tanaman - Buy Asam Sulfat,Asam Sulfat 98 ...
Beberapa manfaat asam sulfat diantaranya adalah
A. Banyak di gunakan di berbagai industri sebagai bahan baku diantaranya bahan    baku:
·         Pupuk ZA
·         Industri kertas,kaca dan sabun
·         Penjernihan air
·         Pabrik kertas
·         Bahan Pemutih
·         Bahan Pengawet makanan
·         Industry detergen
·         Bahan aktif pestisida
·         Carbonat
·         Formulasi pestisida

B. Asam sulfat sangat dibutuhkan untuk proses pickling pada industri baja.

  2. Macam – macam Proses
Pada dasarnya semua produksi asam sulfat menggunakan metode yang sama, yaitu konversi gas SO2 menjadi gas SO3 secara katalitik, mereaksikan gas SO3 dan H2O menjadi asam sulfat, dan melanjutkannya dengan proses kontak Gas SO3 dengan asam sulfat yang diencerkan. Berdasarkan sumber gas SO2 berasal, produksi asam sulfat secara komersial dibedakan menjadi Single Contact Process, Double Contact Process, Wet Contact Process, Pressure process  dan H2O2 Process (Ashar, 2013).

2.1 Single Contact Process (single Absorption)
Proses ini digunakan untuk kadar SO2 yang rendah ketika akan masuk kedalam konverter, umumnya gas umpan masuk konverter berasal dari proses industri lain yang  mengandung SO2 sekitar 3-10% berdasarkan volume (Nieuwenhuyse, 2000). Gas yang mengandung SO2 tersebut dioksidasi secara katalitik menjadi SO3, yang kemudian dialirkan menuju proses kontak di absorber, dalam proses ini hanya melewati satu tahap proses kontak. Konversi untuk proses ini mencapai 98.5%, akan tetapi dibeberapa industri untuk mencapai konversi lebih dari 98% merupakan hal yang sulit.   
       
  2.2 Double Contact Process (Double Absorption)
     Pada proses ini konversi yang dihasilkan dapat mencapai 99.5%, konversi tersebut dapat dicapai dengan mengalirkan gas SO3 yang terbentuk di konverter tahap pertama, menuju absorber pertama(Intermediate Absorber) untuk dipertemukan dengan asam sulfat yang diencerkan, jika diperlukan, gas SO3 tersebut dialirkan kedalam Oleum Absorber terlebih dahulu. Untuk memperoleh konversi yang lebih tinggi gas SO2 yang masih terbawa didalam absorber pertama dialirkan kembali menuju konverter tahap kedua, gas SO3 yang terbentuk di konverter tahap kedua dialirkan menuju Absorber kedua untuk dipertemukan kembali dengan asam sulfat yang diencerkan. Pada umumnya gas umpan masuk kedalam konverter mengandung SO2 mencapai 12 % berdasarkan Volumenya (Nieuwenhuyse, 2000).

                                                                                                d                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               
 
                                                                                                                                                                     
2.3 Wet Contact Process
Berbeda dengan kontak proses yang lainnya, Wet Contact Process menggunakan umpan yang masih mengandung kadar air ketika masuk kedalam konverter. Umumnya, sulfur trioksida (SO3) yang terbentuk karena oksidasi katalitik SO2, bereaksi dengan kadar air yang terbawa oleh umpan membentuk asam sulfat berfasa uap, yang kemudian di kondensasikan menjadi fasa cairnya (Almirall, 2009). Didalam sebuah kondisi SO3 yang terbentuk didinginkan dan secara langsung dialirkan ke kolom absorpsi untuk  membentuk asam sulfat.biasanya proses ini digunakan ketika sumber SO2 yang digunakan berasal dari hasil pembakaran H2S. Jumlah SO2 yang masuk ke dalam Konverter umumnya 0.05-7% volume. Konversi yang didapat dari proses ini mencapai 98%.

2.   Tahapan Pembentukan Asam Sulfat
·         Air (H20)
Bahan baku yang diperlukan yaitu air, yang diperoleh dari waduk Krakatau Steel.
·         Sulfur (S)
Sulfur diperoleh dari tambang sulfur di Tangkuban perahu berupa padatan dan disimpan dalam Silo ,setelah sebelumnya sulfur dihaluskan dengan menggunakan Ball Mill.
·         Udara
Udara yang digunakan berasal dari lingkungan sekitar, digunakan sebagai pendingin terlebih dahulu sebelum memasuki Furnace tanpa memerlukan proses pengeringan terlebih dahulu.

3.2    Tahapan Reaksi
 A.   Pembakaran Sulfur
S               + O2               -->                SO2
Sulfur        udara                       sulfurdioksida
Bubuk Sulfur berasal dari Silo 1 (S-01) dan dimasukkan ke dalam Furnance  dengan menggunakan Bucket Elevator, dan dibakar dengan menggunakan udara panas berlebih. Suhu hasil pembakaran, mencapai 1000oC. Panas tersebut digunakan untuk membangkitkan steam pada waste heat boiler di dalam Furnance tersebut, sehingga suhu yang keluar dari Furnance sebesar 427oC.

B.   Pembentukan SO3

      SO2                +  ½ O2     SO3
sulfurdioksida     oksigen         sulfurtrioksida
Mekanisme reaksi yang terjadi pada pembentukan SO3 membutuhkan bantuan dari katalis, secara komersial reaksi oksidasi SO2 menjadi SO3 menggunakan katalis yang mengandung 4-9 % berat V2O5 (Vanadium Pentoxide), sebagai komponen aktif, dan dicampur dengan logam alkali sulfat sebagai promotor. Dibawah kondisi operasi, katalis ini akan meleleh ketika reaksi berlangsung. Biasanya Potassium Sulphate digunakan sebagai promotor akan tetapi pada akhir-akhir ini Caesium Sulphate sudah mulai digunakan karena titik lelehnya yang rendah, yang menandakan katalis dapat digunakan pada temperatur yang lebih rendah.
Untuk promotor katalis yang komersial, batasan temperatur pada katalis untuk memulai reaksi yaitu 410-430oC. Sedangkan 380-390oC untuk Caesium Sulphate. Batasan temperatur maksimal katalis yaitu 650oC. Melebihi temperatur tersebut maka katalis akan kehilangan tenaga katalitiknya secara permanen. Oleh karena itu proses oksidasi SO2 menjadi SO3 dilakukan pada temperatur sekitar 400-650oC.
Konverter R-01 merupakan reaktor jenis fix bed, dirancang sehingga memiliki 4 bed yang terpisah dan dibagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama, reaksi oksidasi SO2 dikonversi menjadi SO3 terjadi dengan mengalirkan aliran gas mengandung SO2 melalui 3 bed pertama, dimana masing-masing bed mengandung katalis Vanadium. konversi yang terjadi terhadap SO2 menjadi SO3 pada 3 Bed pertama mencapai 98%. Setelah melalui 3 tahap pertama, aliran gas yang mengandung gas SO3, didinginkan dan dialirkan menuju Packed Tower 1(PT-01) untuk menyerap gas SO3 menggunakan larutan H2SO4. Gas yang keluar dari PT-01, masih mengandung gas SO2 yang belum terkonversi sehingga aliran gas tersebut dialirkan kembali ke dalam Bed 4, konversi total mencapai 99.5%.

C.  Absorbsi SO3 oleh H2SO4 Pekat
Gas yang mengandung SO3 kemudian dialirkan ke Packed Tower untuk diabsorbsi menggunakan H2SO4  98%. Asam Sulfate pekat yang telah menyerap gas SO3 berubah kenampakan nya menjadi Asam Sulfate Berasap (H2S2O7) yang biasa dikenal dengan Oleum.
Reaksi : H2SO4   + SO3                  H2S2O7
      Asam Sulfat   sulfurtrioxsida    oleum

3.1.3    Tahapan pemurnian dan pembentukan produk
A. Pembentukan Asam Sulfat Pekat
Oleum dari packed tower kemudian dialirkan menuju Washing Tank untuk di tambahkan dengan air sehingga Oleum terkonversi kembali menjadi asam sulfat
Reaksi : H2S2O7   +H2O      2 H2SO4
            oleum          air           asam sulfat
            
B. Pemurnian Produk Asam Sulfat
Larutan asam sulfat hasil washing, sebagian dialirkan menuju mixing untuk menambahkan air sehingga konsentrasi asam sulfat menjadi 98% dan digunakan kembali sebagai absorben SO3 di Packed Tower. Sedang sebagian lagi dialirkan ke tangki penyimpanan sebagai produk untuk dipasarkan.


3.   Kesimpulan
Berdasarkan tinjauan kondisi operasi, pengadaan bahan baku, dan keberadaan pabrik sejenis, maka pabrik asam sulfat tergolong pabrik beresiko sedang.
Hasil analisis ekonomi pabrik ini menunjukkan:
1.     Proses pembuatan Asam Sulfat dengan bahan baku sulfur, udara dan air dengan menggunakan proses DOUBLE CONTACT PROCESS dengan kapasitas 300.000 Ton/Tahun.
2.     Pabrik ini direncanakan didirikan pada tahun 2021 dan mulai beroperasi di tahun 2020 di Cilegon Banten. Bahan baku Sulfur diperoleh dari tambang di tangkuban perahu.
3.     Percent Return of investment (ROI) 15%.
4.     Pay out time (POT) 4,2 tahun.
5.     Break event point (BEP) sebesar 43,06%.
Hasil analisa ekonomi diatas menunjukkan bahwa pabrik asam sulfat dari sulfur,udara dan air dengan proses DOUBLE CONTACT PROCESS dengan kapasitas 300.000ton/tahun layak untuk didirikan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Equip Costs. Home page on-line. Available from :
Anonim. Konsumsi Sulphuric Acid. Home page on-line. Available from:
          http://www.bps.go.id/en
Anonim. Konsumsi Sulphuric Acid. Home page on-line. Available from :
          http://www.kemenperin.go.id/.
Anonim. Konsumsi Sulphuric Acid. Home page on-line. Available from :
          http://www.sulphuric-acid.com/.
Banchero, Julius T. 1987. Introduction to Chemical Engineering. Singapore.
          McGraw-Hill Inc.
Branan, Carl. 2005. Rules of Thumb Chemical Engineers. United States. Elsevier
          Inc.
Brownell, L.E., and Young, E.H. 1959. Process Equipment Design. New York:
           John Wiley and Sons Inc.
Brown, G.G. 1978. Unit Operation. Modern Asia Edition. New York: John Wiley
          And Sons Inc.
Christensen A Kurt. 2011. Process For The Production Of Sulphuric Acid.
         United State Patent.
Christensen A Kurt. 2011. Meeting Future SO2 Emission Challenges With
         Topsoe’s New VK-701 LEAPS5 Sulphuric Acid Catalyst. Denmark.
Cloulson and Richardson’s. 2005. Chemical Engineering Design New York: John
         Wiley and Sons Inc.
Davenport, W.G. King. M J. Rogers, B Weissenberger, A. 2006. Sulphuric Acid
          Manufacture. South African Institute of Mining and Metallurgy
          Johannesburg.
Dow. 2005. Heat Transfer Fluids Chemical Company, United States. Canada.
Dorr Heinz, K. Et al. 1983.Process of Producing Concentrated Sulphuric Acid.
           US Patent Documents.
Kern, D.Q. 1982. Process Heat Transfer. New York : Mc Graw Hill.
Louis N. Allen, Jr. 1953. Sulphuric Acid Produstion By Absorption.
         US Patent Documents.
Mc Cabe, W.L, Smith, J.C. and Harriot, P. 1985. Unit Operation of Chemical
          Engineering. 5Th Edition. Singapore: Mc Graw Hill Book Co.
Nieuwenhusye Van, E.A. 2000. Production of Sulphuric Acid. European Fertilizer
         Manufacturers Association. Belgium.
Perry, R.H. and Green, D. 1999. Chemical Engineering Handbook. ED. 7 . New
        York: Mc Graw Hill.
Peters, M.S. and Timmerhause, K.D. 1991. Plant Design and Economics for
          Chemical Engineering. Ed 7. Singapore: McGraw Hill.
Sinnott, R.K. 2005. Chemical Engineering Design. ed 4.
Schillmoller, C.M. 2014. Selection And Performance of Stainless Steels and Other
           Nickel-Bearing Alloys in Sulphuric Acid. Nickel Development Institute.
Seitz Ekkehart. Et al. Method of Manufacturing Sulphuric Acid. United State
           Patent.
Smith J.M. and Van Ness, H. C.  1996. Introduction to Chemical Engineering
           Thermodynamics. Ed 5. Singapore: McGraw Hill International Edition.
Treybal, R.E. 1968. Mass Transfer Operation. 3rd edition. New York: McGraw
           Hill Book co.
Walas, S.M. 1988. Chemical Process Equipment. America: Butteerworths.
Yaws, L. Carl. 1998. Chemical Properties Handbook. London: McGraw Hill.

Dibuat oleh : 
- Eka Widyaningsih
- Madinah Fitri


*Ilmu tanpa amal, bagaikan pohon tanpa Buah.. maka berbagilah.. 😊

Kamis, 08 Agustus 2019

JURNAL : PRA RANCANGAN PABRIK ETHYLENE DARI REFINERY GAS DENGAN PROSES THERMAL CRACKING KAPASITAS 650000 TON/TAHUN

PRA RANCANGAN PABRIK ETHYLENE DARI REFINERY GAS DENGAN PROSES THERMAL CRACKING KAPASITAS 650000 TON/TAHUN
Nataniel Payung1, Putri Eka Sari2
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Universitas Jayabaya

Abstrak
            Makalah ini membahas pembuatan ethylene dengan bahan baku refinery gas dengan proses thermal cracking kapasitas 650.000 ton per tahun. Produksi ethylene memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan, karena bahan baku yang digunakan sangat mudah didapat dan murah, yaitu refinery gas, limbah dari minyak bumi. Keunggulan dari proses ini adalah kemurnian produk yang dihasilkan sebesar 99,95%. Tahap reaksi ini berlangsung pada suhu 600-1000ºC dengan tekanan 2–47,7 atm. Dari perhitungan ekonomi didapat bahwa BEP 15,75%, POT 1,267 tahun dan IRR 23,8% sehingga secara ekonomi perusahaan ini layak untuk didirikan.

 Abstract
            This paper discusses the manufacture of ethylene with refinery gas as the raw material through a thermal cracking process with a capacity of 650,000 tons per year. Ethylene production has good prospects to be developed, because the raw materials used are very easy to obtain and cheap, refineries gas, waste from petroleum. The advantage of this process is that the purity of the product is 99.95%.The thermal cracking process of refinery gas  at a temperature of 600 - 1000ºC, and pressure  2 – 47,7 atm, increase its purity to 99.5%. From the economic calculation, it was determined that the BEP was 15.75%, POT 1,267 year, and IRR 23.8%. as an economically reviewed, this company is worthy of being established 


1.  Pendahuluan
1.1 Latar belakang pendirian pabrik
Ethylene adalah salah satu contoh bahan baku yang hingga saat ini masih diperoleh secara impor oleh Indonesia. Ethylene sering digunakan sebagai bahan baku Polyethylene (PE) yang digunakan untuk pengolahan plastik, ethylene oksida, ethylene benzene, vinil klorida, dan ethylene glikol. Ethylene bersifat olefin paling ringan, tidak berwarna, tidak berbau, dan mudah terbakar.
Saat ini total kapasitas produksi ethylene sebagai bahan baku polyethylene (PE), yang digunakan oleh industri pengolahan plastik milik PT. Chandra Asri sekitar 800.000 ton/tahun. Dengan konsumsi ethylene sekitar 3.000.000 ton/tahun. Sedangkan perkiraan produksi dalam negri yang ada sekitar 1.800.000 ton. Sehingga terdapat ketergantungan import sekitar 1.000.000 ton. Maka pendirian pabrik ethylene diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dalam negri.
Pembuatan Ethylene dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dehidrasi ethanol dan thermal cracking. Thermal cracking memiliki bahan baku yang lebih murah dibandingkan proses dehidrasi ethanol, serta tidak hanya menghasilkan ethylene sebagai produk utama, namun menghasilkan produk samping yang berupa metana dan butana yang akan digunakan sebagai bahan bakar dalam proses.
Sedangkan produk samping lainnya dari proses pembuatan dengan thermal cracking yang berupa metana dan butana (LPG) dapat dijual dan digunakan sebagai bahan bakar industri.

1.2 Tujuan pendirian pabrik
Tujuan dari perancangan pabrik ethylen adalah untuk menerapkan disiplin ilmu teknik kimia yang meliputi neraca massa dan energi, operasi teknik kimia, dan bagian ilmu kimia lainnya yang disajikan dalam pra rancangan pabrik pembuatan ethylen, serta mengetahui kelayakan pendirian pabrik ini dari awal.

1.3 Kapasitas rancangan
Dalam menentukan kapasitas pra-rancangan pabrik, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan seperti kebutuhan produk, ketersediaan bahan baku, dan kapasitas rancangan minimum.
1.3.1Analisis suplai dan permintaan
Berdasarkan sumber Badan Pusat Statistik 2017, kebutuhan impor di Indonesia cenderung mengalami peningkatan.

Tabel 1.1 Kebutuhan Impor Ethylene
Tahun
Kebutuhan (Kg/Tahun)
2013
628278390
2014
636892106
2015
704633378
2016
645345537
2017
708322022

Pabrik etanol ini direncanakan didirikan pada tahun 2021 mengingat peluang yang tinggi akan permintaan etanol, sehingga perlu dipersiapkan sematang mungkin dalam jangka waktu yang tiga tahun dari saat ini. Estimasi kebutuhan nasional pada tahun tersebut dapat diketahui dengan metode Least Square.
Tabel 1.2 Data Perhitungan Estimasi Kebutuhan Impor Etanol Metode Least Square
Tahun
Tahun ke- (x)
Impor (Kg) (y)
x2
(x)(y)
2013
-2
628278390
4
-1256556780
2014
-1
636892106
1
-636892106
2015
0
704633378
0
0
2016
1
645345537
1
645345537
2017
2
708322022
4
1416644044
Jumlah
0
3323471443
10
168540695










Untuk menentukan kapasitas pabrik pada tahun 2025 dipergunakan persamaan Least Square Time   y = a + bx, di mana y menyatakan jumlah kebutuhan ethylene ton/tahun dan x adalah indeks tahun, maka:
Y = a + bx
  = 66469428.86+ 16854069,5 (x)
Dimana x menyatakan tahun impor/kebutuhan ethylene, maka proyeksi ethylene untuk tahun-tahun berikutnya dapat dilihat pada Tabel 1.3 di bawah ini.

Tabel 1.3 Proyeksi Perkembangan Impor Ethylene di Indonesia
Tahun
Time Periode
Proyeksi (Kg/tahun)
2020
6
649996728,48
2021
7
650159630,89
2022
8
650322533,30
2023
9
650485435,71
2024
10
650648338,12
2025
11
650811240,53
2026
12
650974142,94
2027
13
65171435,65
2028
14
65215263,15
2029
15
65291435,56
2030
16
65335311,21















1.3.2 Kapasitas pabrik yang sudah beroperasi
Pabrik ethylene di Indonesia yang sudah berdiri adalah PT. Chandra Asri Kimia, Cilegon. Dengan kapasitas produksi yang terus meningkat terlihat dalam tabel 1.4 data kapasitas pabrik.
Tabel 1.4. Data kapasitas pabrik ethylene yang sudah beroperasi
No.
Nama Perusahaan
Tahun
Kapasitas (ton/tahun)
1.
PT Chandra Asri Kimia
2013
600000
2.
2014
650000
3.
2015
700000
4.
2016
750000
5.
2017
800000








1.4 Lokasi Pabrik
Lokasi didirikannya suatu pabrik sangat mempengaruhi dalam kemudahan bahan baku, perjalanan operasi, produksi, transportasi, dan distribusi agar tujuan yang dihasilkan lebih baik ditinjau secara efektif dan efesien. Lokasi yang dipilih untuk mendirikan pabrik Ethylene adalah Bontang, Kalimantan Timur.

Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada faktor – faktor sebagai berikut:
 1.    Penyediaan Bahan Baku
     Sumber bahan baku merupakan faktor yang paling penting dalam pemilihan lokasi pabrik terutama pada pabrik yang membutuhkan bahan baku dalam jumlah besar. Hal ini dapat mengurangi biaya transportasi dan penyimpanan yang berkesinambungan. Bahan baku refinery gas diperoleh dari PT.Badak NGL Bontang yang merupakan salah satu pabrik gas terbesar di Indonesia dengan kapasitas berlimpah yaitu 5,4 juta ton/tahun.

2.     Pemasaran
     Pemasaran pabrik perlu memperhatikan letak pabrik dengan konsumen untuk menekan biaya pendistribusian ke lokasi pengiriman dan mempercepat waktu pengiriman ke konsumen. Lokasi pabrik yang berdekatan dengan pasar atau pusat distribusi akan mempengaruhi harga jual produk dan lamanya waktu pengiriman. Pemasaran produk ethylene yang akan didirikan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, diantaranya akan dijual ke beberapa pabrik yang menggunakan ethylene sebagai bahan bakunya. Sedangkan hasil samping yang berupa gas metana 90% akan dijual ke PT. Badak NGL untuk akhirnya dicairkan menjadi LNG, sedangkan hasil samping yang berupa butana 94% akan dijual sebagai LPG ke Pertamina Balikpapan.

3.   Transportasi
            Angkutan bahan baku menuju lokasi pabrik harus memadai didukung dengan fasilitas jalan raya yang lancar. Selain itu juga pemasaran produk dari lokasi pabrik ke konsumen harus strategis. Untuk penyediaan bahan baku, penjualan produk samping metana digunaan sistem perpipaan langsung dengan PT.Badak NGL, untuk penjualan produk utama ethylene digunakan kapal laut, dan untuk penjualan hasil samping LPG digunakan jalur darat dengan truk tangki.
4.   Pembuangan Limbah
Limbah dari pabrik ini diolah di unit pengolahan limbah sampai mencapai ambang batas yang diizinkan, lalu baru dibuang ke pipa pembuangan yang nantinya akan diteruskan ke IPAL untuk diolah sesuai prosedur.
5.   Tenaga Kerja
     Tenaga kerja diperoleh dari masyarakat setempat sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Dipilih tenaga kerja yang terampil diperlukan untuk menjalankan mesin–mesin produksi dan juga bagian pemasaran dan administrasi. Tenaga kerja dapat direkrut dari daerah Balikpapan, Samarinda, dan sekitarnya.

2.  Tinjauan Pustaka
2.1 Bahan Baku
Bahan baku adalah bahan utama dari suatu produk atau bahan yang harus ada dan tidak dapat digantikan untuk membuat suatu produk. Bahan baku yang digunakan adalah Refinery gas terdiri dari 66.5% Metana (CH4), 33.07% Etana (C2H6), dan 0.43% Propana (C3H8). Sedangkan produk yang dihasilkan adalah ethylene, metana, butana, LPG dan hidrogen.
Refinery gas terdiri dari metana, etana, propana. Dengan komposisi dan kondisi :
Metana
66.5 %
Etana  
33.07%
Propana
0.43 %
Tekanan
32 atm
Suhu
70oC
Fase
gas
T bubble
-77 oC
T dew
-42 oC
      









2.2 Deskripsi Produk
2.2.1   Ethylene (sifat fisik dan kimia)
Ethylene
99.95%
Metana
0.01%
Etana
0.04%
Tekanan
15 atm
Suhu
-75ºC
Fase
cair
T bubble
-75 oC
T dew
-37 oC
Berat molekul
28,054 gr/mol
Titik beku
-169,15 oC
Titik didih
-103,7 oC
Suhu kritis
9,25 oC
Tekanan kritis
49,7 atm
Sifat kimia
Mudah terbakar
















2.2.2 Metana (sifat fisik dan kimia)
Metana
90.5%
Hidrogen
9%
Ethylene
0.5%
Tekanan
30 atm
Suhu
-93ºC
Fase
gas
T bubble
-93 oC
T dew
-73 oC










2.2.3 Butana (sifat fisik dan kimia)
Wujud
gas
Berat molekul
58,124 gr/mol
Titik beku
-138,35 oC
Titik didih
-0,45 oC
Suhu kritis
152,05ºC
Tekanan kritis
37,5 atm

2.2.4 Hidrogen (sifat fisik dan kimia)
Wujud
gas
Berat molekul
2,018 gr/mol
Titik beku
-259,16 oC
Titik didih
-252,9 oC
Suhu kritis
-239,95 oC
Tekanan kritis
12,8 atm

2.2.5 LPG Butana (sifat fisik dan kimia)
Butana
94.54%
Propana
4.9%
Etana  
0.56%
Fase
Cair
Suhu
37 oC
Tekanan
30 atm
T Bubble
111,2 oC
T dew
130 oC

2.3 Macam – macam Proses
2.3.1 Proses Dehidrasi Etanol
Proses ini telah ditemukan pada abad XVII ketika pertama kali diketahui bahwa ethylene bisa dibuat dari etanol yang dipanaskan bersama alumina dan silika. Pada saat sekarang katalis alumina dan asam phospat adalah yang paling sesuai untuk digunakan dalam industri. Produk dari dehidrasi etanol adalah ethylene sebagai produk utama dan eter sebagai hasil reaksi lebih lanjut.
Reaksi :
C2H5OH   --->    C2H4 + H20
Etanol                etena     air

2C2H5OH     --->   (C2H5)2O + H2O
Etanol                  eter             air
Eter terbentuk pada suhu ±230 0C sementara pada suhu 300-400 0C konversi etena mencapai 84-85 %. Reaktor bekerja secara isotermal dalam pipa-pipa yang dipanaskan. Pemurnian lebih lanjut diperlukan untuk menghilangkan senyawa aldehid, asam-asam, CO2, dan air. (Ludwig Kniel, 1980).

2.3.2 Proses Perengkahan dengan panas (Thermal cracking)
Reaksi perengkahan merupakan reaksi pemecahan rantai karbon pada suhu yang cukup tinggi. Reaksi dilakukan dalam reaktor pipa atau langsung di dalam suatu furnace. Reaksi perengkahan terjadi pada suhu di atas 637 0C tanpa katalis dan tekanan atmosferis. Setelah keluar dari reaktor, produk didinginkan secara mendadak dan kemudian dimurnikan untuk mendapatkan produk dengan kemurnian yang diinginkan.
Pada proses ini pengaturan kondisi operasi, terutama pengaturan pemberian panas, sangat diperhatikan dimaksudkan agar pembentukan produk yang diinginkan dapat maksimal. Suhu produk keluar sekitar 1800 0F (850 0C) didinginkan mendadak pada alat penukar panas hingga suhunya menjadi di bawah suhu 640 0C. Untuk proses pemurnian produk dilakukan pada suhu rendah (Rase HF 1977).  Diagram reaksi proses thermal cracking dapat dilihat pada Gambar 1.3. Diagram reaksi pembuatan ethylene dengan proses Thermal Cracking
Reaksi :
4C2H6  --->   2CH4     + C2H4     + C4H10      +     H2
Etana           Metana  Ethylene    Butana        Hidrogen                    
 
 Proses pembuatan ethylene dari etana dengan thermal cracking berlangsung dengan memutus ikatan C-H dalam etana hingga terbentuk Ethylene dengan C ikatan rangkap.           
Reaksi berlangsung fase gas dalam reaktor alir pipa. Reaksi berlangsung endotermis sehingga perlu adanya suplai panas yang berasal dari fuel gas hasil pembakaran fuel gas dalam furnace. Reaksi dilakukan pada suhu 1026,85 0C dan tekanan 1 atm tanpa bantuan katalis.

2.3.3 Pemilihan Proses
Berdasarkan macam-macam proses di atas dapat disimpulkan dalam tabel perbandingan, sebagai berikut:

Tabel 2.1. Perbandingan Proses Pembuatan Ethylene
Parameter
 Proses  Dehidrasi Ethanol
 Proses  Thermal cracking
Bahan Baku
Ethanol
Metana, etana, propana
Harga Bahan Baku
US $ 5,33/MMBTU
US $ 4,1/MMBTU
Kondisi Operasi
Temperatur:  300-400 0C
Temperatur:  600-1000 0C
Tekanan: 1 atm
Tekanan: 
2 - 47,7 atm
Konversi
94%
95%
Kemurnian produk
85%
99,95%

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa proses yang dipilih ialah  pembuatan ethylene dari refinary gas dengan cara thermal cracking. Terlihat bahwa pada prose Thermal Cracking lebih menguntungkan dibandingkan dengan proses dehidrasi ethanol karena :
1.       Bahan baku yang mudah diperoleh
2.      Tidak menggunakan katalis
3.       Kemurnian lebih tinggi yaitu 99,95%

3    Deskripsi proses
Proses pembuatan ethylene dari etana dengan thermal cracking (perengkahan dengan bantuan panas) berlangsung dengan cara memutus ikatan pada molekul C-H dalam etana hingga terbentuk Ethylene dengan C ikatan rangkap.
         Pemecahan ikatan C-H pada etana dari bahan baku refinery gas menjadi ethylene dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu :
1. Tahap penyiapan bahan baku
2. Tahap proses reaksi
3. Tahap pemurnian produk

Adapun tahap dari proses pembuatan ethylene ini akan dijabarkan sebagai berikut:
3.3 Tahap Persiapan Bahan Baku
  Refinery gas fresh feed digabungkan dengan arus keluar reaktor dimasukkan ke dalam Finfan E-109 untuk didinginkan hingga suhu 37ºC. Kemudian dimasukkan lagi ke dalam HE E-111 dan didinginkan dengan MCR {multi component refrigerator) hingga suhu -33ºC agar siap dimasukkan ke dalam proses selanjutnya.

3.4 Tahap Proses Reaksi
Reaksi terjadi di reaktor, yang berupa reaktor alir pipa dengan tube pemanas. Reaktor ini beroperasi pada tekanan atmosferis secara non isotermal non adiabatic pada kisaran suhu 726,85-1026,85 oC. Reaksi berlangsung secara endotermis pada suhu 1026,85 oC. Sebagai penyuplai panas reaksi digunakan fuel gas dari hasil pembakaran fuel gas di dalam furnace.
Reaksi :
4C2H6  ---> 2CH4 + C2H4 + C4H10 + H2

Hasil keluar reaktor yang berupa ethylene, hidrogen, metana, butana,sisa etana, dan impuritas propilen kemudian digabungkan dengan fresh feed.
Di reactor, etana tercracking membentuk metana, etilen, butane, dan hydrogen dengan konversi total 95 %. Dalam reaktor terjadi penurunan temperatur akibat reaksi yang endotermis, sehingga untuk mempertahankan kondisi operasi diperlukan pemanasan yang dilakukan oleh fuel gas (hasil pembakaran fuel gas dalam furnace). Fuel gas berasal dari sebagian hasil atas dari menara destilas 101 (MD-101) yang dibakar di dalam suatu furnace dengan udara excess 20%.
Hasil keluaran reaktor bersuhu 1000C didinginkan dalam HE E-104 dengan arus masuk reaktor hingga bersuhu 565.3C. Pendinginan ini dimaksudkan agar reaksi berhenti sehingga tidak terbentuk zat-zat yang tidak diinginkan seperti propilen.
Setelah keluar dari E-104, produk didinginkan kembali dalam E-103 dan E-102 untuk ditukar panasnya dengan arus yang akan memasuki reaktor. Kemudian arus ini dimasukkan ke dalam HE-105 untuk didinginkan kembali sekaligus menghasilkan steam. kemudian produk dikompresi dalam compressor K-102 hingga bertekanan 7 atm. Produk keluar compressor bersuhu 375 C.
Produk keluar K-102 kemudian didinginkan dengan finfan E-106 hingga bersuhu 200C. Kemudian produk dikompresi kembali dalam compressor K-103
hingga bertekanan 20 atm. Arus keluar K-103 bersuhu 288C, kemudian produk didinginkan kembali dengan finfan E-107 hingga bersuhu 120C. Produk dikompresi kembali dalam compressor K-104 hingga tekanan 30 atm. Akibat proses kompresi ini suhu arus naik hingga mencapai 152C. Arus keluar K-104 didinginkan dalam finfan E-108 hingga bersuhu 70C. Arus keluar E-108 kemudian dicampurkan dengan fresh feed refinery gas untuk kemudian masuk unit pemurnian.

3.5 Tahap Pemurnian Produk

3.5.1 Proses pada Menara Destilasi 101 (MD-101)
Fresh feed yang berupa refinery gas (terdiri dari 66.5% Metana (CH4), 33.07% Etana (C2H6), dan 0.43% Propana (C3H8). Dari fresh feed tersebut yang dibutuhkan dalam reaksi adalah etana. Sehingga Metana dan Propana dihilangkan terlebih dahulu dalam menara destilasi.
Proses untuk menghilangkan metana berlangsung di menara destilasi 101 (MD-101), proses ini yang menyebabkan menara destilasi ini disebut de-methanizer.
Produk yang telah bercampur dengan umpan dimasukkan dalam menara destilasi 101 (MD-101) untuk menghilangkan metana. Arus masuk MD- 101 pada suhu -33oC dalam keadaan campuran fase uap cair.
Fresh feed yang berupa refinery gas (terdiri dari 66.5% Metana (CH4), 33.07% Etana (C2H6), dan 0.43% Propana (C3H8), digabung dengan arus keluar reaktor R-101 kemudian dikompresi bertingkat. Arus ini dimasukkan dalam MD-101 (Menara Destilasi 101) untuk menghilangkan metana dan hydrogen. MD-101 beroperasi pada tekanan 30 atm, suhu atas -93ºC, dan suhu bawah 16ºC. Hasil atas MD-101 yang berupa campuran 9% Hidrogen, 90.5% metana dan 0.5% ethylene bersuhu -93oC dikeluarkan sebagai by product. Sedangkan hasil bawah MD-101 yang berupa campuran fraksi berat dimasukkan ke dalam MD-102 (Menara Destilasi 102) pada suhu 16oC.

3.5.2 Reaksi pada Menara Destilasi 102 (MD-102)
Proses untuk menghilangkan propana berlangsung di menara destilasi 102 (MD-102). Dan etana yang ada masuk ke proses selanjutnya, Sehingga disebut De-ethanizer.
Di dalam MD-102 fraksi C2 dipisahkan menjadi hasil atas dan C3, C4 sebagai hasil bawah. MD-102 beroperasi pada tekanan 30 atm, suhu atas -8.47oC, suhu bawah 111.15oC.
Hasil bawah MD-102 yaitu propana dan butana (butana merupakan hasil reaksi dari R-101) dihilangkan, digunakan sebagai pemanas dalam ekspansi bertingkat untuk selanjutnya digunakan sebagai fuel gas atau menjadi produk samping yang selanjutnya dapat dijual menjadi gas LPG.
Sedangkan hasil atas MD-102 yang berupa sedikit metana, ethylene, etana, dan sedikit propana diekspansikan terlebih dahulu pada K-105 hingga tekanan 15 atm. Kemudian dimasukkan dalam (MD-103) ethylene tower, yang berfungsi untuk memisahkan ethylene dan etana. Proses ini merupakan proses pemurnian ethylene dari pengotornya, yaitu etana berlebih.

3.5.3 Reaksi pada Menara Destilasi 103 (MD-103)
Hasil atas dari MD-102 kemudian didinginkan kembali dalam HE E-112 hingga bersuhu 21oC dengan menggunakan MCR. Arus keluar E-112 kemudian dimasukkan ke dalam ethylene tower, menara destilasi 103 (MD-103) untuk memisahkan produk etilen dengan bahan baku etana yang akan diumpankan ke reaktor.
Menara destilasi (MD-103) atau disebut juga Ethylene tower beroperasi pada tekanan 15 atm, suhu atas -37,5oC, suhu bawah -36,5oC. Hasil atas ethylene tower berupa 99,95% ethylene, 0,01% metana, dan 0,04% etana diambil sebagai produk utama. Dengan kemurnian ethylene 99,95%.
Sedangkan hasil bawah ethylene tower yang berupa 99,95% etana, 0,01% ethylene dan 0,04% propana, diekspansi secara bertingkat untuk kemudian dimasukkan dalam reaktor untuk mereaksikan etana menjadi ethylene.
Hasil bawah Ethylene tower MD-103 yang bersuhu -18oC, tekanan 15 atm diuapkan dalam vaporizer E-101 dengan menggunakan MP steam dengan suhu dan tekanan konstan. Uap keluar dari E-100 kemudian dipanaskan dalam Pemanas E-101 untuk ditukarkan panasnya dengan LPG hasil bawah dari menara destilasi 102 (MD-102) hingga suhu 37oC.
Kemudian arus diekspansikan dalam expander K-100 hingga bertekanan 10 atm. Arus keluar expander bersuhu 20.06ºC. Arus keluar expander dipanaskan kembali dalam HE E-102 dengan menggunakan arus panas dari reaktor yang keluar dari E-103 hingga bersuhu 130ºC.
Kemudian umpan diekspansikan kembali dalam expander K-101 hingga bertekanan 1 atm atau sesuai dengan tekanan operasi reaktor. Arus keluar ekspander bersuhu 44oC. Arus keluar ekspander dipanaskan kembali dalam HE E-103 hingga bersuhu 125oC. Arus keluar E-103 dipanaskan kembali dalam HE E-104 dengan produk keluar reaktor hingga bersuhu 725oC.
Tahap pemurnian produk digunakan untuk mendapatkan ethylene murni. Kemurnian ethylene yang di dapat 99,95%.

3.6 Blok Diagram & Flowsheet
a.     Blok Diagram
 


b. Flow Sheet

4     Analisa Ekonomi
Analisa ekonomi dimaksudkan untuk mengetahui kelayakan pabrik Ethylene untuk didirikan dengan pertimbangan untung ruginya. Untuk mengetahui hal tersebut perlu dilakukan evaluasi dengan melakukan peninjauan atas :
Ø  Internal Rate of return (IRR)
Ø  Pay Out Time (POT)
Ø  Break Even Point (BEP)
Dari perhitungan analisa kelayakan didapatkan hasil sebagai berikut:
-          BEP      : 15,75 % 
-          POT      : 1,267 tahun
-          IRR      :  23,8%

5   Kesimpulan
Proses pembuatan ethylene pada pra-rancangan pabrik dengan bahan baku refinery gas yang merupakan limbah minyak bumi, menggunakan proses thermal cracking dengan konversi 95%. Kapasitas produksi 650.000 ton/tahun. Lokasi pabrik direncanakan di Bontang, Kalimantan Timur. Bentuk Perusahaan adalah Perseroan Terbatas (PT). Dengan rincian:
1.   Modal investasi :$  1.207.529.732
2.   Biaya Produksi  : $   370.263.881/tahun
3.   Hasil penjualan  : $   860.920.767/ tahun
4.   Analisa Ekonomi :
BEP              : 15,75 % 
POT             : 1,267 tahun
IRR             :  23,8%
Berdasarkan hasil evaluasi dan analisis ekonomi pada pra-rancangan pabrik ini, pendirian pabrik ethylene dengan kapasitas 650.000 ton/tahun dapat dipertimbangkan untuk pendirian pembangunannya.

6   Daftar Pustaka
  1. Aries, R.S., Newton, R.D., 1955, Chemical Engineering Cost Estimation, McGraw-Hill Book Company, New York
  2. Branan, C. P., 1994, Rules of Thumb for Chemical Engineers, Gulf Publishing Company, Texas
  3. Brownell, L.E., Young, E.H., 1959, Process Equipment Design Vessel Design, Michigan 
4.       Coulson, J.M., and Richardson, J.F., 1989, An Introduction to Chemical Engineering, Allyn and Bacon Inc., Massachusets
5.     Djoko, P., 2003, Komunikasi Bisnis, edisi 2, Erlangga, Jakarta
6.     Fogler, S.H., 1999, Element of Chemical Reaction Engineering, Prentice Hall PTR, New Jersey
7.     Geankoplis, C.J., 2003, Transport Processes and Unit Operations, 4nd ed., Prentice-Hall International, Tokyo
8.       Gunawan, W., 2003, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Raja Grafindo Persada, Jakarta
9.     Inaplas, 2009, Asosiasi Industri Olefin, Aromatik & Plastik Indonesia, www.inaplas.org
10.   Kern, D.Q., 1950, Process Heat Transfer, McGraw Hill International Book Company, Singapore
11.   Keyes, D.B., Faith, W.L., and Clark, R.L., 1961, Indusrtial Chemical,John Willey and Sons Inc, London
12.   Kirk, R.E., and Othmer, V.R., 1950, Encyclopedia of Chemical Technology, 4th ed, John Wiley & Sons Inc., New York
13.   Ludwig, E.E., 1965, Applied Process Design for Chemical and Petrochemical Plants, volume 3, Gulf Publishing Company, Houston
14.   Operation Team, 2010, Handbook of Operation PT Badak NGL Bontang, PT Badak NGL, Bontang
15.   Perry, R.H., and Green, D., 1997, Perry’s Chemical Engineers’ Handbook, 7th ed., McGraw Hill Companies Inc., USA
16.     Peters, M. S., & Timmerhaus, K. D. (1991). Plant Design and Economics for Chemical Engineers. New York: MrGraw-Hill.
17.   Qatargas and Chubu, 2010, www.allbusiness.com/mining
18.   Smith, J.M., Van Ness, H.C.,2001, Introduction to Chemical Engineering Thermodynamics, 6th ed, McGraw-Hill Book Company, Inc., New York
19.     Speight, J. G. (2002). Chemical and Process Design Handbook. New York: MrGraw-Hill.
20.    Brownell, L.e and Young E.h. “Process Equipment Design”, John Willey and son Inc, New York, 1959.
21.     Sandler, Henry J., 1987. Practical Process Enginering. Mcgrow-Hill Book Company.New York.
22.  Ullrich, G.D., 1984, A Guide to Chemical Engineering Process Design and Economics, John Wiley & Sons, New York
23.  United Nations Statistics Division, 2009, UN Data A World of Information, www.data.un.org
24.  Vilbrandt, F.C., Dryden, C.E., 1959, Chemical Engineering Plant Design, 4th ed., McGraw-Hill Book Company, Japan
25.  Walas, S.M., 1988, Chemical Process Equipment, 3rd ed., Butterworths Series in Chemical Engineering, USA
26.  Wankat, P.C., 1944, Equilibrium Staged Separations, Prentice Hall PTR, New Jersey
27.  Yaws, C.L., 1999, Chemical Properties Handbook, McGraw Hill Companies Inc., USA
28.    www.matche.com
29.    www.alibaba.com
*Ilmu tanpa amal, bagaikan pohon tanpa Buah.. maka berbagilah.. 😊