Menggapai Cita Lewat Luka
Rintik
gerimis mulai membasahi jilbabku, aku menjadi tergesa-gesa menyebrangi jalan di
antara beberapa motor yang juga bergegas untuk meneduh di pinggir jalan. Hujan seketika
berubah menjadi lebat.
Sesekali petir berbunyi di kejauhan.
Jalan yang biasanya ramai kali ini lebih lenggang. Hujan membuat banyak yang
lebih memilih berteduh dalam rumah. Aku yang kurang cekatan berlari meneduh,
seketika langsung basah kuyup.
”Sini Mba.. neduh.. Di situ
tampias..nanti makin dingin..” kata seorang abang Gojek sambil menunjuk ke
sebelahnya.
”Ya Pak..” Jawabku singkat sambil
mengangguk.. Aku terdiam menunduk, berharap tak ada yang bertanya atau
mengajakku mengobrol lagi.
Dibalik pakaian yang basah, hatiku
semakin terasa dingin. Samar air mata turun tersarukan oleh hujan yang
membasahi. Tetes Air mata membasahi pipi, aku menangis dalam diam. Kuedarkan
pandangan ke sekeliling.
Beberapa orang berteduh di depan kios
pulsa ini, di antaranya pengemudi ojol dan penumpangnya yang tak ku kenali.
Beruntungnya aku karena di tempat berteduh ini, aku tak mengenali orang di
sekitar. Sehingga aku tak perlu menjelaskan tentang apa yang kurasakan. Ah,
tapi orang juga belum tentu peduli dengan perasaan orang lain. Air mata yang
terus menetes, menggambarkan sakitnya hatiku saat ini.
Selepas menghadiri acara pernikahan mas
Ari, mantan kekasihku. Padahal yang kuharapkan, tentu aku yang bersamamu di
pelaminan. Bukan dirimu yang memadu kasih dengan Perempuan lain disana. Pilihan
LDR (Long Distance Relationship) memang tidak cocok sepertinya untuk
mempertahankan hubungan kita yang sudah berjalan selama 3 tahun lebih. Jarak
dan waktu memisahkan kita yang semula seia sekata semenjak SMA. Menjadi
berubah.
Ah.. Memikirkannya semakin membuat hatiku
terasa semakin teriris. Perasaanku campur aduk setelah keluar dari gedung
pernikahan tadi. Rasanya aku ingin berteriak marah dan memaki perempuan yang
bersanding di pelaminan dan menikah dengan mas Ari.
Karena setelah kenal dengan perempuan
itu, kamu langsung memutuskan hubungan denganku. Keputusan yang terlalu
sepihak, dan 3 bulan kemudian kamu menikah. Dia merebutmu dan membuat hatiku
terasa pilu bagai teriris sembilu. Sehingga kau berlalu tanpa menghiraukan
perasaanku.
Aku tak menyangka, entah apa yang
membuatmu seperti begitu terkesima olehnya. Kemudian tak lama kamu pun
menikahinya. Rasa marah yang kutahan dalam diam inginnya kulampiaskan di atas
panggung pelaminan tadi. Jika tak tahu malu, ingin ku acak mahkota di atas
kepala perempuan itu.
Dan ku jambak rambut dia yang merebutmu
dariku. Tapi hal yang demikian tak kulakukan, karena ku anggap itu layaknya
seperti anak kecil yang berebut permen saja. Beruntungnya aku dapat
mengendalikan diri.
Namun emosi dan kemarahan itu seolah
luntur tersiram aliran air hujan dari langit. Tangisan yang tak bisa kubendung
lagi. Hingga tak terasa 2 jam cukup membuat hati menjadi lega
Setelahnya kepalaku pun ku angkat
perlahan. Ku tegakkan tubuhku. Ah.. biarlah 3 tahun yang sia-sia itu. Berarti
kamu memang bukan jodohku. Ku tekadkan hati seiring hujan yang mulai mereda dan
sinar matahari yang mulai muncul lagi. Aku harus menghentikan perasaan ini, dan
beranjak pergi mengejar hal lain yang lebih baik. Proses melupakan dirimu,
ternyata tidak semudah bayanganku.
Aku sesekali masih menangisi kenangan,
jika sekelebat teringat. Terutama setiap tak sengaja mendengar lagu yang biasa
dinyanyikan bersama dahulu. Atau menatap benda-benda pemberiannya, rasanya
menerbitkan sedih itu lagi. Kecewa dan patah hati karena ditinggalkan orang
yang dikasihi ternyata menimbulkan jejak, goresan yang cukup dalam. Bahkan
sempat membuat nilai kuliahku anjlok.
Karena tidak fokus dalam belajar. Orang
tua, teman dan dosen yang memperhatikan nilaiku yang semula baik, menjadi
begitu kaget dengan perubahan yang ada padaku. Tanpa ku sadari, aku masih saja
mengawasi kegiatan sehari-hari mas Ari lewat instagramnya. Dan aku terhenyak,
seolah tertampar pada realita. Bahwa menangisimu adalah sebuah kebodohan dan
membuang waktu saja. Tak adil rasanya. Aku begitu larut dalam kesedihan, dan
kau bersenang dan bermanja dengan istrimu.
Lumrah adanya karena kalian berada dalam
sebuah hubungan pernikahan yang tak bisa ku kejar lagi. Patah hati menjadi
cambuk untuk aku bangkit meski beberapa kali terjatuh dan mengingatmu lagi.
Namun aku pun kemudian bertekad harus mengejar banyak hal yang ketinggalan.
Berusaha bangkit, kembali menata hati dan
menyibukkan diri dengan banyaknya tugas, berkegiatan kuliah serta kepemudaan di
kampus. Lalu perlahan bertemu orang baru, dan hal menyenangkan juga menarik di
dunia ini selain Mas Ari. Teman-teman yang tulus bahkan ada pula yang berusaha
mendekati dan berusaha menaklukan hatiku. Namun perasaan takut ditinggalkan
membuatku belum berani berkomitmen ke jenjang lebih serius.
Sehingga beberapa kali penjajakan hanya
berujung pertemanan saja. Tapi aku percaya, aku berharga. Dan setelah badai
ini, pasti akan ku temukan cahaya. Aku akan buktikan.Yakinku dalam doa. Di
tahun-tahun terakhir kuliah. Aku pun makin memfokuskan diri untuk menyelesaikan
kuliah dengan nilai yang baik. Sehingga kelak mendapatkan pekerjaan.
Waktu berganti dan tak terasa aku pun
memasuki dunia karir. Namun kali ini, Tuhan seolah memberikan hadiah atas
kesabaranku. DikirimkanNya sebuah kompensasi dari rasa sedih itu, berupa
pekerjaan yang baik dan halal. Dengan gaji yang sesuai. Serta keluarga, yang
selalu mendukungku.
Dengan bekerja, Allah berikan kebaikanNya
atas luka yang lalu, diberikanNya aku berbagai privilege terbang
mengunjungi berbagai kota di berbagai area di Indonesia, bahkan di luar Negeri.
Alhamdulillah.. ya Allah.. ku gapai cita lewat luka.. Meski berdarah, prosesnya
mampu menjadikanku wanita yang tangguh, dan bermartabat.
Dari perjalanan patah hati, Allah menjauhkanku dari orang yang tidak tepat,
menuju hal yang lebih baik. Putrie, Juni 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar